1. Doa untuk Ibu ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ SEKARANG pukul sebelas malam. Ibu belum juga pulang. Aku benar-benar dibuat gelisah. Entah, telah berapa banyak buku cerita kubaca, tapi tak satu pun yang masuk ke otak. Justru kegelisahanku bertambah. Tidak biasanya aku mengalami seperti ini. Tentu ini ada hubungannya dengan mimpiku kemarin malam. Mimpi yang amat mengerikan, sehingga aku takut menceritakannya kepada siapa pun. Malam semakin larut. Tapi Ibu belum juga pulang. Ia pergi sudah sejak sore tadi. Katanya ingin ke rumah sahabatnya untuk menghadiri undangan. Entah undangan apa. Tapi mengapa hingga pukul sekian belum juga pulang? Padahal Ibu berjanji pukul tujuh sudah sampai di rumah. Apakah ia mendapat halangan di jalan? Inilah yang membuatku gelisah. Kalau halangan itu terjadi tepat seperti mimpiku, ah... betapa mengerikan! Tanpa terasa bulu romaku berdiri. Ya, Tuhan... selamatkanlah Ibu! Adikku yang paling kecil menangis merengek-rengek memanggil Ibu. Dia memang biasa menangis kalau ditinggal Ibu dalam waktu cukup lama. Apalagi malam seperti ini yang biasanya kami gunakan untuk berkumpul di ruang keluarga menyaksikan acara televisi. Tapi kali ini tangisnya kurasakan aneh. Kuhibur adikku itu dengan kata-kata manis, dan dengan berbagai mainan. Sialnya, dia tetap saja menangis sambil memanggil-manggil Ibu. “Ibu kemana, Kak? Ibu kemana? Huu..uuu...!” tanyanya di sela-sela tangisnya. Adik bontotku itu masih kecil, baru berumur empat tahun. “Ibu baru ke pasar membeli oleh-oleh buat Ninuk. Sebentar lagi pasti pulang,” jawabku. Dan aku sendiri tersentak mendengar perkataan ‘pulang’ yang meluncur secara tiba-tiba dan mulutku. Pulang? Pulang kemanakah Ibu? Aku jadi gelagapan. “Ibu tidak ke pasar!” adikku yang nomor tiga, yaitu si Upik, tiba-tiba menyela. Ibu tadi bilang ingin ke rumah sakit,” lanjutnya. Aku cepat-cepat berpaling kepada Upik yang baru duduk di kelas 2 SD itu. Kutatap ia tajam-tajam. Mendadak hatiku bertambah ciut. Ke rumah sakit? Astagaa! Kata ‘rumah sakit’ itu benar-benar mengagetkan diriku. Persis mimpiku kemarin malam. Mimpi yang sangat mengerikan! Setelah Ibu mendapat kecelakaan di jalan, ia segera dilarikan ke rumah sakit, begitulah mimpiku. Ibu setiap kali bepergian memang sering berkata ingin ke rumah sakit kepada adik-adikku supaya tidak ikut. Biasanya mereka takut mendengar kata ‘rumah sakit’. Apalagi kalau ada tambahan kata ‘dokter’ dan alat ‘suntik’nya. Tapi bagaimana kalau perkataan yang digunakan untuk mengelabui itu kali ini menjadi kenyataan? Artinya Ibu benar-benar dibawa ke rumah sakit? Ya, Tuhan ... tolonglah lbuku ... selamatkanlah dia ...! Aku terus berdoa. Adikku, yang berjumlah lima orang itu, duduk mengelilingiku. Semuanya ikut berdoa. Hanya Ninuk yang terheran-heran. Ia duduk terbengong-bengong memandangi kami. Akhirnya ia pun ikut-ikutan mengangkat tangan, sehingga suasana menjadi hening dan khusuk. Ya, kami semua berdoa untuk keselamatan Ibu. Aneh, sepertinya Ibu sedang bepergian jauh saja. Padahal rumah sahabatnya itu hanya dua kali naik oplet jaraknya dari rumah kami. Tapi kepergian Ibu kali ini kurasakan lebih jauh dari daerah mana pun, sehingga kami benar-benar perlu berdoa demi keselamatannya. Aku bertanya, seandainya Ibu benar-benar mendapatkan kecelakaan dan ‘pergi’ seperti dalam mimpiku kemarin malam, bagaimana hidup kami nanti? Sedangkan Ayah telah meninggal dua tahun yang lalu, juga dalam kecelakaan lalu lintas. Semenjak itu Ibu menjadi tumpuan hidup kami. Ibulah yang bekerja keras membanting tulang menghidupi anak-anaknya, membiayai sekolah kami, dan mengongkosi keperluan hidup lainnya. Ya, seandainya Ibu tiada, apakah yang dapat kuperbuat? Akan kuapakan adik-adikku yang jumlahnya empat orang dan masih kecil-kecil itu? Sanggupkah aku menghidupi mereka? Oh, Tuhan, Engkau Maha Pengasih lagi Penyayang ... hindarkanlah Ibu dan hal-hal yang buruk. Kami terus bedoa dengan khusuk. Aku sendiri tidak tahu mengapa kali ini jiwaku benar-benar tercekam, cemas dan berada di puncak kegelisahan. Inikah yang namanya firasat? Aku berusaha keras untuk tidak mempercayai firasat. Dan aku mencoba menghilangkan segala bayangan buruk. Namun setiap kali bayangan itu kubuang jauh-jauh, setiap kali itu pula ia semakin melekat di pelupuk mata. Ya, sebuah bayangan mengerikan seperti mimpiku kemarin malam. Ketika aku dan adik-adikku sedang khusuk-khusuknya berdoa, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara kecukan di pintu. Cepat-cepat aku bangkit dan berlari membuka pintu. Di depan pintu itu berdiri Pak Jayat, tetangga sebelah rumahku. Aku kecewa. Kukira yang datang itu Ibu, ternyata bukan. Adik-adikku segera ikut berdiri menghampiri Pak Jayat. “Sedang apa kalian?” tanya Pak Jayat. “Sedang menunggu Ibu,” jawabku langsung saja. “Memangnya Ibumu ke mana?” “Pergi kondangan,” jawabku. “Tidak. Ibu tidak pergi kondangan. Ibu ke rumah sakit!” sahut Ninuk tiba-tiba, dengan suara agak keras. Kami seperti tersentak mendengar jawaban itu. Semua mata segera menatap ke arah Ninuk. Lalu bayangan buruk itu kembali hadir di hadapanku, membuatku cemas. Ketika kami sedang berpandangan, tiba-tiba pintu pagar terkuak. Kami semua menoleh ke depan. Di halaman, berdiri... Ibu! Aku tertegun sejenak. Ibu membawa bungkusan besar. Semua nampak terpana. Namun serta merta aku dan adik-adikku lari berhamburan ke arah Ibu, merangkulnya dan menangis terisak-isak. Ibu tercengang-cengang. “Ada apa ini? Ada apa ini?” tanya Ibu kaget sehingga bungkusan kue martabak yang dibawanya terjatuh. Tapi aku tidak peduli. Aku menangis karena lega, gembira dan entah perasaan apalagi yang sukar kulukiskan. Sepertinya aku baru terlepas dari mulut buaya setelah dikejar-kejar harimau. Tuhan, terima kasih atas rahmatMu. Doa kami Engkau kabulkan! ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================